Senin, 19 Desember 2016

Jebakan 7 Kesalahan Berfikir dan 2 Mitos Sosial

Jalaluddin Rahmat merupakan muballig yang ilmuwan, tokoh pembaharu islam, pendidik dan tokoh pembaharu. Selain itu dia juga seorang penulis yang produktif. Beliau mampu menulis beberapa cabang ilmu, diantaranya adalah tashawuf, kandungan al-Quran dan Hadits, sosial, komunikasi, fikih, dan laian sebagainya. Sebagaian karya-karyanya dibuat dalam rangka menjawab tantangan dan paham paradigma yang beliau anggap keliru.
Di antara karya Jalaluddin Rahmat, baik yang sudah diterbitkan maupun yang disampaiakn kepada para mahasiswa dan masyarakat adalah sebagai berikut :
  1. Psikologi Komunikasi (1985)
  2. Islam Alternatif (1986).
  3. Islam Aktual (1991),
  4. Renungan-Renungan Sufistik (1991).
  5. Retorika Moderen (1992)
  6. Catatan Kang Jalal (1997).
  7. Reformasi Sufistik (1998).
  8. Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer (1998).
  9. Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999).
  10. Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999).
  11. Rekayasa Sosial: Reformasi Atau Revolusi? (1999).
  12. Rindu Rasul (2001).
  13. Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih (2002).
  14. Psikologi Agama (2003)
  15. Meraih Kebahagiaan (2004)
  16. Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005).
  17. Memaknai Kematian (2006)
  18. Islam dan Pluralisme, Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (2006)
Disamping karya-karyanya yang cukup banyak dan digemari banyak kalangan, saya akan menyajikan sepenggal tulisan ilmuan muslim ini yang tercantum didalam buku berjudul Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi ?. Penggalan tulisan itu berupa 7 Kesalahan Berfikir dan 2 Mitos Sosial.
 
7 kesalahan Berfikir 


1. Fallacy Of Dramatic Instance (FODI)
Berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisatuon. Yaitu, penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Seringkali kesimpulan itu merujuk pada pengalaman pribadi seseorang.
Contoh kasus :Riski adalah mahasiswa yang selalu membawa buku dan memakai kacamata, Riski juga cerdas dan jenius. karenanya orang-orang langsung menyimpulkan bahwa setiap orang/mahasiswa yang membawa buku dan menggunakan kacamata adalah cerdas dan juga jenius.

2. Fallacy Of Retrospective Determinism (FODR)
Dalam buku karangan Abang jalal, mengatakan kerancuan atau kesalahan berpikir masyarakat yang mengatakan bahwa masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat yang cukup panjang.
Contoh kasus :
Ada suatu masalah sosial bernama prostitusi ataupun akrab disapa pelacuran. Sebagian mereka mengatakan bahwa untuk apa ada larangan pelacuran, dikarenakan hal tersebut sudah ada sejak dulu dan tidak bisa dibasmi. Sehingga pelacuran bukannya untuk dihilangkan melainkan melokalisasikannya agar terhindar dari dampak – dampak yang tidak diinginkan.

3. Post Hoc Ergo Propter Hoc (PHEPH)
Istilah ini berasal dari bahasa latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah itu-karena itu-oleh sebab itu. Jadi, apabila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua. Misalnya si X datang sesudah Y . maka X dianggap sebagai sebab dan Y sebagai akibat.
Menurut Jalaluddin Rahmat, kesalahan berpikir seperti ini sering dan acapkali manusia lakukan. Karena, mereka sering menghubungkan sebab dengan penyebab yang tidak bersinergi. Dalam artian bisa dikatakan termasuk dalam konspirasi berpikir. Membuat seakan perubahan yang ada benar – benar berasal dari satu sebab.
Contoh kasus :
Ada orang tua yang lebih mencintai anak yang satu dari pada anak yang lainnya hanya karena orang tua itu kebetulan strata sosialnya naik. Sebelum anak itu lahir, orang tua itu sangatlah sengsara, susah dan sebagainya. Tibalah masa lahir anak yang dibanggakan, mengapa dibanggakan? Ketika anak itu lahir, kedudukan orang tuanya pun “kebetulan” naik. Posisi jabatan disuatu perusahan naik. Sehingga anak ini dianggap sebagai berkah dan anak sebelumnya merupakan pembawa sial. Sangat disayangkan, anak sebelumnyalah yang kena getahnya, padahal dia tidak tau persoalan. Inilah hasil dari pemikiran yang umumnya masyarakat, tidak logis atau logis menurut kalian jika persoalan yang seperti itu?

4. Fallacy Of Misplaced Concretness (FOMC)
Misplaced adalah salah letak, sedangkan Concretness adalah kekonkretan, jadi kesalahan berfikir model ini adalah cara berfikir seseorang yang mengkonkretkan sesuatu yang masih abstrak, aliaas dipaksakan untuk konkret.
Dalam Istilah logika, kesalahan berpikir seperti ini disebut reification. Yaitu, mengganggap real sesuatu yang sebetulnya hanya berada dalam pikiran kita.
Contoh kasus :
Mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bisa menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab : “kita hancur karena kita berada pada satu sistim jahiliyah. Kita hancur karena ada thagut yang berkuasa.” Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu adalah dua hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya  seperti itu, lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” system itu? Sistem yang abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.

5. Argumentum ad Verecundiam (AaC)
Kesalahan berfikir yang satu ini banyak kita temui, yaitu berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan. Ada orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri.
Contoh kasus : 
Si A dengan percaya diri menafsirkan ayat sekian dari surah sekian dalam Al-Qur’an dengan tujuan untuk membela argumentasinya, maka sebenarnya si A tadi melakukan kesalahan berpikir. Karena, ayat yang sama itu masih bisa ditafsirkan secara berlainan oleh pikiran orang lain. seharusnya si A harus bersikap adil dengan cara mengatakan "menurut pemahaman saya terhadap surah ini...", maka dengan begitu si A tidak terjebak dengan kesalahan berfikir Argumentum ad Verecundiam ini.

6. Fallacy Of Composition (FOC)
Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang.
Contoh kasus:
Sebuah cerita di suatu kampung, ada seseorang pemuda berkreasi mengubah motornya menjadi ojek. Kemudian usahanya sukses. Melihat usaha pemuda ini, semua orang akhirnya membeli motor untuk di ojek-kan. Akibatnya, karena lahan kerja ojek menjadi rebutan semua orang kampung, terjadilah apa yang dikatakan saling berbagi kemiskinan. Semua itu karena dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang Pasti juga berhasil untuk semua orang.

7. Circular Reasoning (CR)
Circual reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar, menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula.
Contoh kasus :
Hal tersebut terjadi ketika seorang mahasiswa mengemukakan sebuah hipotesis “Apabila manajemen diterapkan dengan baik maka program organisasi akan berjalan dengan lancar” ketika ditanya “ Apa buktinya bahwa manajemen itu diterapkan dengan baik” Jawab mahasiswa itu, “Kalau organisasi berjalan lancer Pak “ kemudian ditanya lagi, “ Kalau organisasi bejalan lancar, apa artinya ? Dia menjawab, “ Artinya pengembangan manajemennya diterapkan dengan baik.” inilah contoh circular reasoning. Ini sama saja seperti membuat sebuah hipotesis “ apabila seorang manusia perempuan, maka ia pasti wanita” 


MITOS-MITOS SOSIAL

1. MITOS DEVIANT (MD)
Mitos ini berawal dari pandangan bahwa masyarakat itu stabil, statis dan tidak berubah. Kalau terjadi perubahan , maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang stabil. Mitos ini berkembang dari teori ilmu social yang disebut structural functionalism ( fungsionalisme structural) . Menurut teori ini, kalau ingin melihat perubahan social, kita harus mau melihat struktur dan fungsi masyarakat. Kemiskinan itu fungsional, punya peran dan berguna. Artinya dalam struktur masyarakat, orang miskin itu punya satu struktur yang sangat penting.
Pertama, orang miskin berfungsi mengerjakan pekerjaan kotor . Kedua orang miskin berfungsi melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya Ketiga , orang-orang miskin berfungsi memberikan pekerjaan bagi kaum intelektual dengan menggunakan LSM. Sekarang ini kemiskinan menjadi komoditi yang bisa laku keras di pasaran internasional. Kalau tidak ada orang miskin, maka struktur masyarakat akan rusak. Masyarakat tidak akan mencapai titik equilibrium dan akan terjadi disequlibrium.
Jika menggunakan analisis fungsional seperti ini kita akan menjadi anti perubahan dan pro status quo. Kita akan melihat perubahan sebagai penyimpangan dari hal-hal yang sudah seimbang . Masalah pelacuran, misalnya akan dikatakan memiliki fungsi untuk memelihara keluarga supaya para suami tidak mudah berpoligami. Kejahatan juga akan dikatakan mempunyai fungsi . Sebab, jika tidak ada kejahatan apa gunannya polisi ?. Orang ahli maksiat pun akan dibiarkan saja supaya mubalig menjadi contoh orang yang suci. Pada gilirannya, semua disimpulkan mempunyai manfaat. Dari kaca mata analisis fungsionalisme structural ini, perubahan dianggap sebagai fenomena deviant , menyimpang.
Sebagai bantahan terhadap mitos ini, para ilmuan alam mengemukakan bahwa tidak ada yang tidak berubah. Perubahan adalah hukum alam yang niscaya dan paling nyata. Dalam bahasa Alfred N. Whitehead, “ Perubahan itu inheren dalam tabiat segala sesuatu”. Tidak terkecuali masyarakat. Karena itu tidak ada masyarakat yang statis dan tidak berubah. Bahkan, seperti kata Arnold Toynbee, “ Telaah mengenai persoalan manusia sebagai obyek yang bergerak, lebih bermanfaat dan realistis dari upaya menelaah manusia dalam kondisi imajiner yang mandeg”
Yang membedakan suatu masyarakat dengan masyarakat lain hanyalah rate of change atau derajat perubahan. Ada masyarakat yang berubah dengan cepat dan ada yang secara lamban. Seluruh masyarakat itu mengalami perubahan . Oleh sebab itu fungsionalisme structural sering mandul dalam menganalisis dinamika social.

2. MITOS TRAUMA (MT)
Mitos ini mengatakan bahwa perubahan menimbulkan krisis emosional dan stress mental. Setiap disintegrasi social selalu menimbulkan disintegrasi individual. Disintegrasi terjadi karena perubahan social yang tidak seimbang.
William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff mempuyai teori yang mereka sebut Cultural lag (kesenjangan budaya). Cultur lag terjadi apabila perubahan pada satu aspek kebudayaan yang lain. Dalam kata-kata Ogbern , “culture lag” terjadi bila satu dari dua jalinan kebudayaan mengalami perubahan sebelum atau dalam drajat yang lebih besar ketimbang yang terjadi pada yang lain, sehingga mengurangi persesuaian (adjustment) yang telah ada antara keduanya.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan melengkapi kantornya dengan fasilitas komputer canggih, tetapi pola kerja tetap saja tidak sistemik. Akibatnya, komputer tidak terpakai dan dipasang hanya untuk menunjukan bonafiditas perusahaan. Ini artinya : telah terjadi cultural lag antara perubahan teknologi dan mental
Situasi seperti itu. Menuirut ogbern dan Nimkoff dapat berdampak pada “krisis” setiap perubahan selalu menimbulkan krisis. Oleh sebab itu setiap perubahan social akan mengundang reaksi anggota masyarakat . Reaksi akan menimbulkan masalah-masalah social baru. Masalah social terjadi karena perubahan social.
Mitos ini dibuktikan salah. Oleh beberapa penelitian mutakhir . Argumennya : setiap perubahan, tidak an sich menimbulkan goncangan. Ada perubahan yang disambut gembira. Banyak perubahan yang tidak menimbulkan trauma , malah diharapkan. Perubahan akan ditolak oleh anggota masyarakat .Pertama apabila perubahan diduga/dipersepsi itu mengancam pada basic security (rasa tentram) . Kedua, perubahan itu tidak dipahami dengan baik dan meliputi ketidakpastian. Ketiga, dirasakan ada paksaan terhadapa anggota masyarakat. Keempat, bertabrakan dengan nilai atau norma . Kelima, tidak sesuai dengan kalkulasi rasional atau cost benefit ratio.
Ketika menguraikan ayat : “Kami turunkan pada setiap kaum seseorang yang memberi peringatan, maka selalu saja orang kaya dari kaum itu mengatakan, “Kami kafir dengan apa-apa yang diturunkan Tuhan kepadamu”. Ali Syariati mengatakan bahwa semua orang kaya “kelompok kapitalis” bakal terus menentang segala bentuk perubahan.
Sebaliknya, Murthada Mutahhari mengatakan bahwa penyebab pertentangan perubahan itu bukan saja kelompok kapitalis, tetapi setiap orang atau kelompok yang menganggap perubahan akan mengancam stabilitas dan kemapanan status quo. Jadi inti masalahnya bukan terletak pada kapitalis atau proletarian , singkatnya sesuatu itu ditentang karena diduga mengancam basic security yang kesemua itu tergantung cara bagaimana orang dalam mempersepsi setiap keadaan.
Kesimpulannya , tidak ada masalah atau keadaan yang stressful (menimbulkan stres) di dunia ini. Yang menimbulkan stress di dunia ini adalah diri kita sendiri. Lingkungan tidak menyebabkan stress , kitalah yang mempersepsi lingkungan secara stressful atau penuh tekanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar